Sejatinya sayuran khas jepang, edamame, bukan komoditas baru di tanahair. Sejak lama ekspatriat asal Negeri Sakura yang menetap di Indonesia mengonsumsi polong anggota keluarga Fabaceae itu. Belakangan masyarakat kita pun akrab dengan edamame yang cara konsumsinya mudah: mengukus terlebih dahulu. Selain konsumsi segar, beragam olahan memakai edamame dapat dijumpai seperti bakpia serta susu edamame.

Popularitas edamame yang terus menanjak itu otomatis membuka peluang untuk mengebunkan. Apalagi pasar sesungguhnya tak hanya lokal, tapi juga ekspor. Salah satu pengecer sayur organik di Depok, Jawa Barat, bahkan kesulitan memasok pelanggan, yakni beberapa pasar swalayan dan rumah makan di Jabodetabek. Total jenderal permintaan mencapai 200 kg saban pekan.

Syarat edamame yang disukai pasar lokal adalah berpolong 2-3 dan buah bebas bercak. Pasar ekspor lebih ketat, yakni ukuran seragam, jumlah polong seragam, kulit bebas bercak serta cendawan, dan memenuhi ambang batas residu dari negara pengimpor.

Sejauh ini kendala utama untuk mengebunkan edamame adalah sulitnya memperoleh benih unggul F1. Pekebun seperti di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi (keduanya di Jawa Barat, red) menyiasati memakai benih hasil budidaya sebelumnya. Efeknya? Tingkat produksi edamame melorot 60-70%. Upaya lain dengan menyeleksi buah berpolong 3 sebagai benih. Itu agar persentase penurunan produksi berkisar 40-45%.